Rajut dan Rawat Bangsaku dengan Damai

1758
Bangsaku Damai untuk Bersatu. Foto dok. Qureta

Teruslah merajut asa dengan damai bangsaku, stidaknya itu dogma yang tak boleh hilang atau lekang oleh waktu. Karena bangsaku ini bersatu walau berbeda tetapi tetap satu jua bersama pancasila untuk damai sejahtera harus selalu menggema.

Masa-masa dimana asa selalu ada untuk negeri ini saat ini. Berkibar merah putih menjadi penanda riuh rendah bangsa dan anak negeri berjanji berpadu satu. Sekelumit peristiwa, menjadi bukti nyata tentang adanya kita di negeri ini. Maka, Rajut dan rawatlah bangsaku dengan damai. Itu syarat utamanya.

Realita terpatri itu adanya, menjadi janji setia kepada kita sebagai penghuni negeri. Lambai-lambai ombak dan kerikil tajam sering kali menjadi tirani, menjadi tanda dogma semata. Jiwa para pengorban nyawa di era pengusir penjajah tak sedikit berkoar bersama hanya dengan tekat dan janji untuk meraih Kemerdekaan.

Merenda dan merajut asa. Itu tekad para pejuang bangsa ketika berjanji untuk membela bangsa. Ikthiar menjadi aroma terpatri didalam jiwa hanya untuk negeri, bumi pertiwi. Tibalah hari negeri menjadi bangsa yang harus selalu merdeka dengan syarat damai negeri untuk selalu bersatu bangsaku.

Kini, riak-riak hoax tak jarang bersembunyi bernyanyi merangkai siulan membuat reramuan bumbu pengasut membuncah sebagai pemecah belah negeri. Ini karena rona oknum para para pemberani yang tak sanggup bertanggungjawab asal kata dan bunyi saja. Tak jarang bangsa tersiar kabar berpadu melawan menelan hoax sebagai peluntur alur agar negeri tetap berseri bersatu padu agar jangan mudah terbujuk rayu yang memecah belah bangsa.

Nyanyian baru merajut asa damai negeri untuk selalu bersatu bangsaku. Lantunan lagunya memang mudah tetapi sukar ditebar di negeri ini karena adu domba kini yang semakin meraja lela tak kentara.

Hembusan angin topan badai menanti bisa disulam walau benang-benang itu telah kusut saat merajut dan menjahit. Bumbu yang dirasa, dikecap juga diolah diaduk hingga remuk menelan karena generasi ke generasi telah berganti. Pahit manis menelan rasa yang berpadu karena usaha untuk damai dan bersatu.

Jiwa-jiwa dari generasi kini telah terasa, iba berpadu berbaur menjadi tega. Kaca cermin menampilkan muka-muka manis kelakuan iblis menghantui jiwa. Tengok rona anarki para pembegal, kriminal dan korupsi semakin merajai negeri semakin menyana. Miris menangis tak kuasa karena uang atau dana bicara dalam nada dan faktanya. Jarhan demi jarahan berani sebagai penyangkalan sesuka hati pada hal negeri ini milik bersama.

Merdeka secara usia menjadi negeri ini tiada tara disegani, sejatinya. Tetapi, tipu daya masih berkeliapan disana sini. Tengok sana, tengok sini, itu adanya tersaji. Lihatlah raung ruang megah menggusur lahan kering kerontang.

Menyongsong membabi buta pemusnah rimba raya tak segan menumpas ragam satwa. Menggema berganti sunyi sepi. Senapan api memburu menangkap terperangkap karena alasan pemenuhan hasrat dan dalih alasan perut.

Satu rasa sebagai harapan semua jua sebagai tanda, realita dinamika mengata agar jangan ada lagi politik adu domba menjadi dogma hoax berujung saling tuding yang tak jarang meruncing terpancing emosi jiwa para oknum labil milenia yang mudah terbawa arus bernama dogma-dogma tak bertuan.

Hanya tinggal rasa dan asa kini yang bisa jikalau itu boleh bertumbuh, bersatu damai negeriku agar kelak kita bisa dihargai. Isi asa kemerdekaan di negeri ini dengan damai sejahtera agar kiranya kita boleh berkata dengan nyata sebagai bangsa yang bersatu untuk maju dan tak lagi terpisah-pisah.

Ingatlah negeri ini harus bersatu karena kita Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda berdiam di negeri ini tetapi harus tetap satu jua, maka rajutlah asa untuk berdamai agar negeriku, bangsaku Indonesia ini boleh terusberdamai, bersatu merdeka selamanya.

Ketapang, Kalbar, 24 September 2018
(MONGA.ID/Petrus Kanisius)

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini