Lampion Tak Sekedar Lampu tetapi Juga Sebagai Simbol Budaya

1814
Lampion yang terlihat indah nan cantik terpasang di Depan Gereja Katedral St. Gemma Galgani, Ketapang. Foto dok 2019 : IST/Dwi Za Bagastia

Tahun Baru Imlek 2570 sudah mulai terasa, hiasan-hiasan lampion pun terlihat sudah mulai di pasang oleh warga masyarakat sebagai penanda antusias mereka menyambut tahun baru. Tak hanya indahnya lampion tetapi sejatinya memiliki arti dan makna tersendiri bahwa budaya dan tradisi telah mengakar dan menyatu menjadi pemersatu dalam bingkai keberagaman.

Seperti terlihat sangat indah, ornamen-ornamen lampion nan cantik sudah mulai terpasang di setiap teras rumah sahabat-sahabat kita yang beretnis Tionghoa. Memiliki bentuk bulat berwarna merah tak lain itu lampion sebaggai penanda imlek akan tiba (tahun baru China). Lampion itu sendiri ternyata memiliki banyak arti diantaranya sebagai simbol cahaya terang. “lampion ini sebagai simbol cahaya terang” pungkas Frans Doni, disela kesibukannya merangkai lampion di Gereja.

Cahaya terang yang disimbolkan dengan lampion ini digantung sebagai wujud syukur akan tahun yang baru dengan harapan hadir sebuah pengharapan baru dimana terwujud dalam cahaya tersebut. Warna merah identik dengan warna meriah (bahagia) bagi etnis Tionghoa untuk menyambut kebahagiaan dan harapan di tahun yang baru.

Merunut dari sejarahnya boleh dikata lampion bukan sekedar lampu biasa. Mengutip dari laman Kompas Travel, Lampion diyakini bermula pada zaman Dinasti Han Timur Kuno yang berdiri pada tahun 25-220 masehi. Masyarakat pada masa itu akan menutup lilin dengan bingkai bambu, kayu, atau jerami gandum dan merentangkan sutra atau kertas sehingga api tidak mati tertiup angin. Lampion kemudian diadopsi oleh para biksu Buddha sebagai bagian dari ritual ibadah mereka pada hari kelima belas pada bulan pertama kalender bulan. Kaisar pada masa itu kemudian memerintahkan masyarakat agar bergabung dalam ritual itu untuk menghormati Buddha dan membawanya ke Istana Luoyang.

Selanjutnya dalam budaya dan tradisi masyarakat Tiongho bahkan biasanya hingga menggelar menggelar festival lampion. Lampion mulai dipasang dan digunakan untuk festival pada masa Dinasti Tang pada awal mulanya. Festival lampion ini dirayakan setiap tahun, pada hari kelima belas kalender bulan. Tanggal itu pun ditetapkan sebagai akhir Tahun Baru China. Perayaan puncak pada festival itu adalah memakan Tang Yuan, sajian bola nasi ketan yang diisi pasta wijen. Jalannya festival penuh dengan cahaya lampion dan perayaan bersama keluarga.

Rapat Koordinasi untuk Persiapan Imlek dan Cap Go Meh di Klenteng Tua Pek Kong. Foto dok : Dwi Za Bagatia/MONGA.ID

Di Kabupaten Ketapang sendiri ada hal yang unik, keberagaman etnis tidak bisa disangkal menjadi keberagaman di tanah betuah ini. Seperti terlihat, masyarkat luas terlebih kantor-kantor Pemerintah dan swasta  bahkan ikut serta memasang lampion sebagai salah satu cara atau pun bentuk penghargaan kepada sesama yang merayakan. Uniknya lagi, lampion terpasang juga di rumah ibadah yang tak hanya di Klenteng tetapi juga seperti misalnya di Gereja Katolik Katedral St. Gemma Galgani. “Di Gereja Katedral St. Gemma, bahkan ada jadwal khusus untuk melaksanakan misa syukur menyambut Imlek 2570, dan kita juga memasang lampu lampion di sini (gereja)”, tutur Doni.

Selamat menyambut tahun baru Imlek 2570 bagi saudara-saudari yang merayakan. Keberagaman budaya dan tradisi yang telah turun temurun ini pun menjadi penanda bahwa masyarakat kita telah majemuk dan berbaur secara budaya yang menjadi penghias, penerang indahnya budaya dan tradisi moyang yang masih lestari dalam bingkai kemajemukan dari semua untuk persatuan yang hakiki di Ketapang.

(Tulisan Diolah dari Berbagai Sumber)

Penulis : Dwi Za Bagastia

Editor : Petrus Kanisius

MONGA.ID

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini