Bumi sebagi Rumah dan Ibu Kita Bersama, tetapi Kini Ia Sering Menangis

2287
Bumi Sakit, siapa yang Peduli. (Foto : Istimewa/ quora.com

MONGA.ID-KETAPANG, Usiamu kini tak lagi muda bumiku. Sama seperti bebanmu yang juga sudah semakin sarat. Tak terbayang betapa berat engkau mengemban beban hingga acap kali menangis karena kita.

Tidak bisa disangkal, bumi sebagai rumah dan ibu kita bersama berarti ia harus dirawat dan dijaga dengan baik. Mengapa ia (bumi) sering menangis, pasti memiliki banyak alasan. Bumi menjadi tanda nyata bahwa kita membutuhkannya kini hingga nanti.

Lihatlah ia menangis berarti harus ada cara pula untuk/bagaimana menghentikannya menangis. Semestinya, mustahil jika tidak ada cara untuk ini.

Bumi menangis berarti pula ada sebab. Mungkin saja ia menangisi nasibnya yang saat ini mengalami masa-masa sulit. Tak ubah dengan menangis adalah cara terbaik dari bumi untuk mengadu tentang apa yang ia rasakan, walau sesungguhnya itu juga yang kita rasakan.

Panas yang tak biasa sering kali mendera hingga ia murka dan menciptakan jerami-jerami kering mudah tersulut api dan membuatmu terbatuk hingga menangis karena asap ketika musim kemarau tiba.

Ketika musim hujan tiba, lihatlah di beberapa tempat atau banyak tempat air tak tertampung alias meluber kemana-mana tak jarang pula membuat semua menjadi tidak baik-baik saja. Tajuk-tajuk sebagai penyerap telah kalah berdiri dengan gedung-gedung tinggi. Tengoklah ketika banjir datang, tak jarang terkadang ia membawa cerita baru yang tak kalah pilu mendera seisi rumah ini (bumi).

Semakin pongahnya kita sebagai manusia, tak ubah sebagai raja atas semua makhluk yang cenderung pula mendominasi lalu lupa harmoni membuat bumi semakin ironi dalam ketidakpastian dulu, kini dan mungkin nanti?.

Tanda-tanda bumi ini sakit pun sesungguhnya bukan barang baru. Sedari dulu bumi ini selalu menanti asa karena tangisnya bukan pula karena ia semakin tua renta tetapi menahan derita menanti kasih yang bisa menghidar kala tangisnya semakin menjadi.

Bumi tak pernah berdusta dengan bahasanya. Bumi pun terkadang (tidak/tak) kuat dengan semampunya menahan dan menanggung luka dan derita yang ia alami kini. Tetapi sesungguhnya ia tak kuasa bisa berteriak, ia hanya menangis dengan tangisan akan nasibnya kelak. Dengan bahasanya itu sesungguhnya sebagai tanda nyata dan memperlihatkan kepada kita bagaimana mencari cara.

Hutan, tanah dan air ini isi bumi bersama yang lainnya (semua makhluk) ingin selalu bernafas bahagia bukan tangis dan derita. Tetapi, mampukah kita membuat bumi ini tersenyum dengan cara-cara sederhana yang kita miliki? atau terus melihat bumi ini terus mengeluarkan deraian air mata yang tak kunjung henti? atau kita semakin menertawakan bumi yang kini sebagai rumah sekaligus ibu kita?

Tak ada kata terlambat untuk membuat bumi bisa terhibur dari tangis dan deritanya kini. Masih banyak kiranya cara-cara sederhana yang mampu, boleh dan dapat kita lakukan dengan tingkah polah kita sehari-hari. Terkadang kita terlalu konsumtif, abai dengan personal lingkungan termasuk seenaknya membuang sampah tidak pada tempatnya. Mengurangi penggunaan kantong plastik saat berbelanja dengan menggantinya dengan tas belanja, atau mengurangi membeli botol plastik dengan menggantinya dengan botol minuman yang bisa dipakai berulang kali dan masih banyak cara lainnya tidak terkecuali mengurangi penggunaan sedotan plastik dengan sedotan tradisional seperti bambu misalnya. Setidaknya itu cara-cara sederhana yang boleh dicoba dan dilakukan oleh siapa saja tanpa terkecuali dan tanpa memaksa pula.

Atau setidaknya bagaimana cara kita merawat dan menjaga bumi (Selamatkan Bumi Dari Rumah), sesuai dengan tema hari bumi yang dirayakan oleh Yayasan Palung, pada 22 April.  Mengajak semua masyarakat yang ada di Kalimantan Barat dengan tantangan kreativitas #DIRUMAHAJA #DiRumahAja .

Untuk informasi lengkapnya di :

View this post on Instagram

Tema: "Selamatkan Bumi dari Rumah" Khusus untuk Kalimantan Barat Periode Lomba: 1. Batas pengiriman (upload) foto, tanggal 1 – 30 April, Pukul 23.59 WIB. 2. Pengumuman 10 (sepuluh) foto karya paling baik, diposting di instagram Yayasan Palung pada tanggal 03 Mei 2020. 3. Penentuan 3 (tiga) pemenang utama akan ditentukan dari jumlah like pada masing-masing postingan di Instagram Yayasan Palung dengan batas waktu 03 – 09 Mei 2020, Pukul 23.59 WIB. 4. Pemenang utama akan diberitahukan melalui DM pada 10 Mei 2020. Syarat Peserta: 1. Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Kalimantan Barat. 2. Peserta wajib mengikuti instagram @yayasan_palung 3. Akun instagram peserta aktif dan tidak dalam kondisi terkunci atau private. 4. Unggah foto hasil karya kamu ke akun Instagram pribadi kamu. Tag Instagram @yayasan_palung pada foto dan tag minimum 5 teman kamu pada caption. 5. Karya yang diikutsertakan merupakan karya terbaru (dibuat pada periode lomba). . 6. Upload minimal 3 foto dalam 1 postingan, karya difoto dari beberapa sisi dan 1 foto dengan pemilik karya. 7. Menyertakan caption yang mendukung foto seperti manfaat karya yang dibuat, bahan yang digunakan, lama pembuatan disertai tagar #SaveOurEarthFromHome #HariBumi2020 #YayasanPalung 8. Semua foto karya yang diikutsertakan merupakan karya asli dari peserta dan belum pernah diikutsertakan dalam Lomba lain. 9. Peserta yang melakukan segala bentuk kecurangan dan pemalsuan data akan didiskualifikasi atau dianulir dari Lomba #SaveOurEarthFromHome 10. Peserta diperbolehkan mengunggah maksimal dua karya yang berbeda. 11. Tidak berlaku untuk staff Yayasan Palung. Hadiah Lomba: Juara 1. Kaos + Tumbler + Totebag + Sertifikat + Sticker Juara 2. Kaos + Tumbler + Sertifikat + Sticker Juara 3. Kaos + Totebag + Sertifikat + Sticker Juara 4-10 : Tumbler + Sertifikat + Sticker Info lainnya lanjut di komentar…

A post shared by Yayasan Palung (YP) (@yayasan_palung) on

Dengan cara-cara sederhana, setidaknya kita bisa ikut mengambil peran dan peduli dengan nasib bumi ini kini dan berharap hingga nanti boleh lestari. Nasib bumi dan nafas semua makhluk hidup tergantung bagaimana kita bertindak hari ini pula. Bila bumi ingin terus berlanjut bolehlah kiranya kita semuanya mengambil peran bukannya merengumpat atau menyalahkan bumi dan alam semesta. Berharap pula tidak ada lagi kata ini karena bencana alam atau semua ini karena salah alam/bumi ini. Bumi ini tidak pernah salah, tapi penghuninya yang salah tak lain manusia karena sikapnya yang terkadang pula terlalu serakah. 

Bumi tak meminta untuk dikasihani, tetapi setidaknya kita punya rasa yang tak kuasa melihat seringnya ia menangis bukan karena siapa tetapi karena ulah kita. Bila kita bisa menghibur dan menghentikan tangisannya. Dengan demikian pula setidaknya kita bisa berharap dengan usia bumi semakin menua dan tua renta ini masih asa untuk berlanjut dan kita semua boleh harmoni hingga nanti.

(Petrus Kanisius /MONGA.ID)

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini