PERUBAHAN IKLIM: APAKAH DAPAT BERDAMPAK PADA REGENARASI HUTAN?

686
Foto Bekas kebakaran yang terjadi pada tahun 2019. (Foto : IST/YP)
Foto Bekas kebakaran yang terjadi pada tahun 2019. (Foto : IST/YP)

Perubahan iklim sering terdengar akhir-akhir ini serta menjadi masalah global. Iklim didefiniskan sebagai pola cuaca dalam periode waktu yang panjang, biasanya merupakan rata-rata lebih dari 30 tahun (IPCC, 2021). Setidaknya berbagai media banyak menyoroti permasalahan tersebut. Mengutip dari (National Geographic) perubahan iklim didefinisikan sebagai pergeseran iklim global atau regional dalam jangka panjang, seringkali perubahan iklim terkait dengan kenaikan suhu dari pertengahan abad 20 hingga sekarang. Kerap kali diberbagai media kita mendengar tentang pemanasan global, peristiwa ini satu diantaranya dipengaruhi oleh pelepasan karbon (C) dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan karbon monoksida (CO). Energi radiasi matahari (UV) diterima oleh objek di bumi, emisi energi dipantulkan kembali ke atmosfer namun akumulasi gas yang terdapat di atmosfer juga berperan dalam kenaikan dan penurunan suhu permukaan bumi. Mengutip dari (Columbia climate School, 2021) beberapa gas seperti CO2,  menyerap radiasi inframerah dan melepaskannya kembali ke berbagai arah. Dampaknya adalah terjadinya kenaikan temperatur permukaan bumi, berbagai unsur cuaca dan iklim dipengaruhi oleh temperatur.

Ketika terjadi deforestasi dan alih fungsi lahan menyebabkan berbagai spesies tumbuhan dihilangkan di atas permukaan bumi. Kita secara tidak langsung mengganggu proses penyerapan CO2 tumbuhan, faktanya CO2 juga  merupakan produk sampingan aktivitas respirasi paru-paru manusia. Berbagai mesin yang menggunakan energi fosil, minyak bumi menghasilkan emisi CO. Setidaknya selain masalah emisi karbon, unsur lain seperti chlor/ klor (Cl) misalnya terdapat pada PVC (polyvinyl chloride) plastik, ketika Cl dilepaskan dalam bentuk gas dan bereaksi dengan ozon, yang terjadi adalah kerusakan lapisan ozon (O3) (Greesnwood & Earnshaw, 1997).

Mengutip dari The Lancet Planetery Health, kematian yang disebabkan karena suhu ekstrim banyak terjadi di negara dunia. Bukan hanya itu, jurnal The  Royal Society Publishing mengungkapkan ternyata terdapat korelasi antara temperatur dan kortisol pada hewan. Dimuat dalam buku Nussey & Whitehead yang berjudul “ Endocrinology: An Integrated Approach’ ,  kortisol berperan penting dalam proses katabolisme di jaringan otot dan anabolisme di hati, melibatkan perubahan glukosa menjadi makromolekul yang lebih kompleks yaitu glikogen. Kita mengetahui bahwa glukosa berperan penting bagi berbagai jenis organisme hidup memperoleh energi (dalam bentuk ATP) untuk beraktivitas. Bagaimana jika temperatur/suhu ekstrim? Apakah kita mampu bertahan?

Tumbuhan memiliki organ vegetatif dan generatif, pada tumbuhan berbunga (Angiospermae). organ generatif terdiri atas bunga, buah dan biji. Mungkin masih banyak yang belum mengetahui bahwa proses pembentukan bunga pada tumbuhan juga dipengaruhi oleh temperatur (Proietti et al., 2022). Terdapat temperatur optimum yang memicu aktivitas pembungaan pada tumbuhan (Wilkie et al., 2008). Contoh kasus pada tumbuhan, Sangat memungkinkan terjadi stress ketika temperatur rata-rata naik atau turun. Sehingga kita mengenal adanya istilah cekaman kekeringan pada tumbuhan (Cybext, 2019).

Bukan rahasia khusus ketika terjadi kenaikan suhu pada siklus kemarau panjang sempat menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan, terlebih diperparah oleh berbagai penyebab kemunculan titik api. Selain itu banyak negara di dunia mengalami serangan gelombang panas dan menyebabkan banyak kematian pada manusia (WHO). Gelombang panas juga dapat menyebabkan stres pada tumbuhan (Futureearth). Temperatur tinggi tidak terlalu bagus untuk pertumbuhan banyak jenis tumbuhan. Hal tersebut terkait dengan kecepatan fotosintesis, jika temperatur tinggi berlangsung selama satu minggu dapat menyebabkan kematian pada banyak jenis tumbuhan. Suhu tinggi dapat menyebabkan kehilangan air yang parah “dessication‘ ketika proses proses pelepasan air ke atmosfer terjadi (transpirasi) (IOWA State University) . Pada tumbuhan berbunga juga terdapat istilah inisiasi pembungaan. Istilah inisiasi pembungaan dapat diartikan sebagai proses transisi pertumbuhan vegetatif ke arah pertumbuhan generatif tumbuhan berbiji (Lang et Nitsch,), sehingga dapat diartikan sebagai proses pembentukan bunga, buah dan biji. Pada dasarnya buah dihasilkan oleh bunga, sedangkan biji merupakan bagian dari buah. Setiap tumbuhan memiliki temperatur optimum untuk menghasilkan bunga (Khodoroval & Boitel-Conti, 2013). Sadar atau tidak dampak perubahan iklim telah berada disekitar kita, mulai dari curah hujan yang sulit di prediksi, kenaikan dan penurunan temperatur ekstrim. Nah,  jika tidak ada bunga, biji tumbuhan berbunga dari mana? Mengingat bahwa regenerasi hutan juga tergantung pada ketersediaan biji.

  Apakah kita akan memilih untuk menjaga hutan atau sudah siap dengan teknologi canggih pengganti proses alam beregenarasi?

Kurva rata-rata temperatur meningkat pada tahun 2022 dan memperlihatkan kenaikan suhu global ( NASA GISS, NOAA, Hadcrut, Japan Meteorological, Berkeley Earth). Penguapan dan pergerakan angin dipengaruhi oleh temperatur, hal ini akan terkait dengan proses pembentukan hujan (presipitasi). Sedangkan inisiasi pebungaan juga dipengaruhi oleh peristiwa tersebut. Bagaimana apakah kita yakin pengaruh perubahan iklim belum terjadi di sekitar kita dan nyata berdampak?

Referensi :

Greenwood, NN & Earnshaw, A. Chemistry the Elements: second edition (1997) p. 422.

IPCC, 2021: Annex VII: Glossary [Matthews, J.B.R., V. Möller, R. van Diemen, J.S. Fuglestvedt, V. Masson-Delmotte, C.  Méndez, S. Semenov, A. Reisinger (eds.)]. In Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Masson-Delmotte, V., P. Zhai, A. Pirani, S.L. Connors, C. Péan, S. Berger, N. Caud, Y. Chen, L. Goldfarb, M.I. Gomis, M. Huang, K. Leitzell, E. Lonnoy, J.B.R. Matthews, T.K. Maycock, T. Waterfield, O. Yelekçi, R. Yu, and B. Zhou (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, pp. 2215–2256, doi:10.1017/9781009157896.022.

Penulis : Gunawan Wibisono /PPS,Yayasan Palung)

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini