Jinggong: Warisan Musik Tradisional Dayak dari Desa Terusan yang Nyaris Punah

0

MONGA.ID – KETAPANG, Jinggong adalah alat musik tradisional masyarakat Dayak yang berasal dari Desa Terusan, Dusun Purun, Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Terbuat dari pelepah pohon enau, jinggong dimainkan dengan cara dipetik, menghasilkan suara khas yang beresonansi melalui rongga mulut pemain.

Alat musik ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menyimpan makna budaya dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat Dayak.

Keunikan jinggong terletak pada perannya dalam kehidupan agraris masyarakat Dayak. Instrumen ini dimainkan di ladang sejak tanaman padi berumur 60 hari hingga memasuki fase bunting.

Selain itu, jinggong juga kerap dimainkan di waktu senggang di rumah sebagai hiburan sekaligus sarana melatih keterampilan pemain.

Menjaga Yang tersisa, dokumentasi Maestro Jinggong asal Desa Terusan ( foto oleh Alfonsus Ide Krisma/iid)

Namun, di banyak wilayah di Kabupaten Ketapang, jinggong telah punah. Kini, alat musik ini hanya bertahan di Desa Terusan, menjadikannya warisan budaya yang sangat berharga.

Menurut penuturan tetua Desa Terusan, jinggong telah ada sejak zaman nenek moyang.

Alat musik ini mencerminkan hubungan harmonis masyarakat Dayak dengan alam dan semangat padi yang mereka tanam,” ungkap Sumarlin, Kepala Desa Terusan.

Ia menambahkan bahwa jinggong bukan sekadar alat musik, tetapi juga bagian dari ritual agraris yang memperkuat ikatan spiritual antara petani dan tanaman padi.

Proses Pembuatan Jinggong

Jinggong dibuat dari pelepah pohon enau yang dipilih dengan cermat. Pelepah dibelah menjadi bentuk segi empat dengan lebar sekitar 2 cm dan panjang 15-20 cm. Pelepah kemudian diraut hingga halus dan rapi, lalu dibentuk ruang getar di bagian tengah untuk menghasilkan suara saat dipetik. Proses ini membutuhkan ketelitian agar alat musik dapat menghasilkan resonansi yang optimal saat dimainkan dengan rongga mulut sebagai resonator.

Teknik Memainkan dan Repertoar Jinggong

Jinggong dimainkan dengan cara dipetik, sementara rongga mulut pemain berfungsi sebagai resonator untuk memperkuat suara. Teknik ini menghasilkan harmoni yang menyerupai suara katak sawah yang saling bersahutan, menciptakan nuansa alami yang khas.

Dalam tradisi masyarakat Dayak di Desa Terusan, jinggong memiliki tiga repertoar utama, masing-masing dengan makna dan tujuan khusus:

Pukulan Sari Dawa: Pola pukulan ini dimainkan setelah musim menggurun (mencabut rumput di ladang) selesai. Tujuannya adalah memberi tahu “semangat padi” bahwa petani telah menyelesaikan tugas merawat ladang, sehingga padi dapat tumbuh dengan baik.

Pukulan Igal-Igalan: Dimainkan setelah pukulan Sari Dawa, pola ini bertujuan agar padi tumbuh subur dan bebas dari rumput pengganggu. Pukulan ini dipercaya dapat membawa kegembiraan bagi semangat padi, mendorong pertumbuhan yang sehat.

Pukulan Jangga: Motif ini dimainkan dengan harapan padi terhindar dari hama dan penyakit. Pukulan Jangga juga menjadi simbol bahwa petani akan terus merawat padi hingga berbuah, memperkuat ikatan spiritual antara petani dan tanaman.

Tantangan dan Upaya Pelestarian

Sayangnya, keberadaan jinggong kini terancam punah. Di banyak wilayah Kabupaten Ketapang, alat musik ini telah lenyap, dan hanya segelintir orang di Desa Terusan yang masih mampu memainkannya. Generasi muda pun mulai kehilangan minat terhadap warisan budaya ini.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Sumarlin berkomitmen memperkenalkan kembali jinggong melalui Pentas Seni Budaya Dayak XI Tahun 2025 di Kabupaten Ketapang.

Kami ingin generasi muda mengenal dan mencintai jinggong agar warisan ini tetap hidup,” tegasnya.

Melalui pentas seni dan penampilan dari pelaku dari Terusan, masyarakat Desa Terusan berharap jinggong dapat dikenal luas, tidak hanya di Kalimantan tetapi juga di panggung budaya nasional.

Jinggong adalah identitas kami. Kami harus menjaganya agar tidak hilang ditelan zaman,” ujar Sumarlin.

Warisan Budaya yang Berharga

Dengan suara khas dan makna spiritualnya, jinggong lebih dari sekadar alat musik. Ia adalah simbol kearifan lokal masyarakat Dayak yang menghormati alam dan semangat padi sebagai sumber kehidupan. Pentas Seni Budaya Dayak 2025 diharapkan menjadi titik balik kebangkitan jinggong, menginspirasi generasi baru untuk melestarikan warisan leluhur mereka. (MONGA / Dwi Za Bagastia)

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini