Bahaya yang Mengintai Dibalik Konsumsi Daging Trenggiling

930
Trenggiling. Foto : IST/ES/MONGA.ID

MONGA.ID-KETAPANG, Hai sobat konservasi, apakah kalian tahu bahwa di dunia ada 8 jenis trenggiling? 4 spesies hidup di Afrika dan 4 spesies lainnya hidup di Asia. Trenggiling tersebut kini hidupnya makin terancam lho, salah satunya adalah karena perburuan mereka secara illegal. Apakah kalian juga tahu bahwa trenggiling yang hidup di hutan-hutan Indonesia termasuk hutan di Kalimantan, khususnya Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara juga tak luput dari ancaman kepunahan. Bahkan, trenggiling yang ada di Indonesia merupakan satu dari dua spesies trenggiling yang kritis terancam punah menurut daftar merah IUCN. Spesies kritis terancam punah lainnya adalah trenggiling Cina yang hampir punah pada pertengahan tahun 1990.

Trenggiling merupakan satu-satunya mamalia yang seluruh tubuhnya tertutup keratin. Sekitar 20% dari jumlah bobot tubuh mereka datang dari sisik. Sisik ini terbuat dari keratin, material serupa yang membentuk kuku kita. Meskipun demikian, masih banyak orang yang percaya bahwa sisik trenggiling bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit (coba saja kuku mu dijadikan bahan untuk obat). Walaupun sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang mendukung klaim bahwa bagian tubuh dari trenggiling (apalagi kulitnya) memiliki kandungan untuk keperluan obat-obatan.

Komisi Keselamatan Spesies Pangolin IUCN pada tahun 2020 melansir bahwa seekor trenggiling diambil secara ilegal dari alam liar setiap lima menitnya. Hal ini membuat trenggiling menjadi mamalia liar yang paling sering dan banyak diperdagangkan di seluruh dunia. Ditambah lagi dengan lajunya kerusakan habitat tempat mereka berdiam, tidakkah kita merasa perlu melindungi mereka dari ancaman kepunahan?

Penjaga hutan ini telah bertahan ribuan tahun dari perubahan alam, tetapi sekarang mereka berada di ambang kepunahan karena hilangnya habitat dan perburuan ilegal. Lebih dari 1 juta trenggiling dibunuh secara brutal untuk perdagangan pasar gelap dalam 10 tahun terakhir. Setara dengan 11 trenggiling setiap jam (sumber : Tempo.Co)

Sebenarnya, konsumsi daging yang berasal dari hewan liar juga dapat meningkatkan resiko terpapar zoonosis meningkat. Antraks, Ebola, Sars, Flu Burung H5N1, dan Coronavirus (Covid-19) adalah contoh zoonosis yang telah dihadapi manusia di bumi, bahkan saat ini kita masih berjuang untuk melawan Covid-19. Satwa liar berpeluang menjadi inang dari Coronavirus-19 sebelum menjangkiti manusia, hal ini disinyalir menjadi faktor utama munculnya Covid-19. Mirip dengan SARS dan MERS-CoV, novel coronavirus atau 2019-nCoV diduga berasal dari kelelawar. Sel virus yang ada pada kelelawar tersebut diduga berpindah ke trenggiling dan akhirnya dimakan oleh manusia. 

Pada masa pandemi ini, merupakan momentum yang baik bagi kita untuk mulai mengurangi konsumsi hewan liar, khususnya yang terancam punah dan dilindungi undang-undang seperti trenggiling. Juga marilah kita menjaga habitat asli mereka. Karena tidak mengganggu satwa liar dan tidak merusak habitat alaminya merupakan solusi yang lebih tepat untuk mencegah terjadinya wabah virus di masa mendatang. Selain mengurangi resiko terpapar zoonosis (penularan penyakit dari satwa ke manusia maupun sebaliknya) juga menghindarkan kita dari ancaman jeruji besi (penjara) akibat memburu atau mengkonsumsi dagingnya. Para peneliti di negeri China telah menetapkan bahwa Trenggiling adalah binatang liar pembawa virus yang berhubungan erat dengan Covid-19. Oleh karena itu, dengan mengurangi hingga menghentikan konsumsi satwa liar, anda sudah berkontribusi dalam mencegah kepunahan hewan tersebut dan mengurangi risiko penularan. 

Penulis : Tim Animal and Habitat Protection Yayasan Palung

(MONGA.ID)

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini