Seperti terlihat secara kasat mata, dari dulu sampai sekarang ini, rimba yang tak lagi raya, tidak lagi ramah dan tidak menjadi satu kesatuan yang harmoni. Seharusnya, Pongo dan rimba tidak terpisahkan dan satu rumah sekaligus sebagai asa penyambung napas kehidupan bagi si Pongo ataupun pula makhluk lainnya.
Berayun-ayun di antara ranting pohon atau pada batang liana, itu yang menjadi kesukaan si pongo yang tidak lain adalah orangutan. Si pongo yang sangat suka menjelajahi hutan itu ternyata memiliki peran mulia.Tidak hanya berayun, pongo juga sangat suka memakan pucuk daun, kulit muda dan buah-buahan hutan.
Tidak hanya suka menjelajah hutan, si pongo kini sudah semakin merindu rimbunnya hutan yang raya juga harmoni saling menyapa bukan saling acuh kepada sesama ciptaan.
Konon, si pongo yang memiliki hobi menjelajah hutan itu saban waktu dari ke hari sampai hari ini sudah semakin rindu rimba raya.
Rindunya pongo pada rimba yang raya bukan tanpa alasan. Nada-nada rimba yang menanti asa., asa kepada semua makhluk untuk saling harmoni itu yang selalu ada sebagai harapan nyata kepada nasib yang mendiami semesta ini.
Saat ini, nasib hidup pongo sudah semakin sulit berkelana, mencari makan dan menabur benih.
Julukan sebagai petani hutan yang melekat pada pongo pun kian rentan hilang menjelang rimba yang semakin sulit untuk raya, tetapi bukan berarti tidak ada asa.
Suatu ketika, rombongan burung riuh hilir mudik, mereka hendak bertemu dengan si pongo. Rombongan burung itu ternyata ingin berdiskusi dengan pongo terkait nasib hidup mereka di rimba raya.
Burung-burung yang hilir mudik itu ternyata adalah burung enggang, mereka dari waktu ke waktu ternyata bertanya-tanya tentang peran mereka selama ini. Resah dan gelisah tak menentu mereka pun wajar sejatinya, karena burung-burung itu sama seperti pongo yang menanti asa. Peran si Pongo dan burung-burung enggang itu tak kurang karena sebagai petani hutan.
Si Petani hutan menyebarkan benih-benih itu tak lain sebagai cikal bakal tunas baru belantara. Tunas bukan sekedar tunas, tapi tunas itu adalah harapan akan segala makhluk. Dari tunas-tunas baru itu ragam satwa dan tumbuhan bisa bernapas lega. Dari tunas-tunas itu pula segala bernyawa boleh beroleh ketenangan bukan riuh yang tanpa batas tanpa rasa peduli.
Celoteh enggang dan pongo seperti menuai rindu yang harus disambut damai tanpa menuai haru biru.
Cerita dulu tentang rimba raya yang harmoni kiranya tetap harus selalu ada, karena lestrarinya bumi, semesta raya ini tergantung kita manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Ilahi.
Keutuhan ciptaan menjadi akar yang harus tertanam berdiri kokoh bukan tercerabut. Seperti asa pongo dan enggang ini, inginkan rimba raya tetap selalu ada. Si Pongo tidak kurang kiranya menyandang banyak julukan bukan saja sebagai petani hutan, tetapi juga sebagai spesies payung. Tidak terbayang bila hutan rimba (rimba raya) menjadi hilang tak berbekas. Tentu, nasib pongo dan segenap napas segala bernyawa lainnya akan menjadi taruhan bahkan hilang tak berkas.
Bagaimana jadinya bila hutan tanpa pongo (orangutan) atau sebaliknya? Tentu, tidak sedikit yang terpengaruh. Hutan dan orangutan tanpa kita boleh dikata tidak apa-apa. Tetapi, mampukah kita tanpa hutan dan orangutan?
Orangutan perlu hutan, hutan perlu orangutan untuk terus menumbuhkan tunas-tunas baru yang tidak lain ialah tajuk-tajuk pepohon yang disebut juga sebagai hutan.
Cerita dulu dan sekarang sudah semakin jauh berbeda. Tentu ini tentang cerita pongo yang sejujurnya hidup begitu tulus sebagai petani hutan hingga tajuk-tajuk itu masih boleh berdiri kokoh walau tak sama seperti dulu yang pernah ada.
Raung pongah sumpah serapah kerap kali saling beradu. Beradu tentang cerita yang tidak pernah usai tentang nasib hidup si pongo dan satwa lainnya yang tak pernah berujung didera sengsara.
Sengsara di rumah yang juga habitat hidup dari satwa lainnya, itu yang terjadi pada nasib pongo saat ini dan ini menjadi bukti pongo perlu tangan-tangan tidak telihat untuk berjabat erat bukan saling menghujat.
Pongo butuh ruang hidup berupa hutan yang luas untuk menjelajah, bermain, berayun dan menyemai. Ruang hidup yang luas sebagai tanda pongo masih aman nyaman berdiam.
Melihat, merasa dan menyana. Pongo tanpa ibu sungguh kasihan. Hutan dan ibu satu satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Ujung pena dan senapan tidak jarang menjadi ancaman nyata jiwa pongo, ujung pena dan senapan memberi napas itu bisa terampas tak berbekas.
Ujung pena pun bisa menggores luka yang tidak terlihat namun terasa di depan mata. Raung suara menggema merampas belantara. Tidak jarang pongo hilir mudik tanpa arah mencari atau kehilangan arah.
Koar kelakar tangan-tangan tidak terlihat seolah beradu nyali dan beradu domba. Tidak pernah salah, dogma yang selalu sama berujar dan terucap. Koar kelakar itu pun berujung pada nasib pongo dan manusia yang tinggal di sekitar hutan yang sama-sama berujung trusir di rumah sendiri.
Rumah pongo yang dulu tidak seperti yang ada sekarang ini. Pohon, ranting dan dahan yang kokoh semakin sulit dijumpai.
Pakan makanan semakin sulit pongo dapatkan di rimba raya yang tidak bertuan itu. Bagaimana tidak, rimba yang raya semakin sulit dijumpai, semakin sulit pongo semai. Tajuk-tajuk sudah semakin sulit bersaing dengan bangunan gedung, dengan tanaman sejenis tetapi bukan hutan.
Pasrah menyerah para satwa, itu seolah-olah tetapi itu menjadi tanda nyata yang tersaji dari mentari mulai memancar hingga senja menyapa saban hari. Ruang hidup kita (masyarakat lokal) penjaga rimba raya semakin sulit berdaya. Titah tak terbantahkan menjadi bumerang dan buah simalakama.
Bukankah, Pongo dan hutan itu penting? Nasib sebagian besar makhluk hidup bergantung dan tergantung kepada hutan dan pongo.
Pongo perlu manusia untuk menjaga asa, asa akan semua yang peduli bukan pongah serakah tanpa arah membabi buta, bukan suara deru mesin, tetapi suara sapa yang menyambut harmoni semua secara bersatu bersuara bersuara menyerukan kata peduli dengan aksi nyata.
Si petani hutan rindu ceria, bahagia, menanam dan menuai panen pakan buah raya agar tak paaceklik yang mencekik, jiwa yang meronta tanpa kata.
Kini pongo menanti asa, asa aka nada tangan-tangan mulia yang bisa menuai damai dan harmoni agar boleh kiranya peduli kepada nasib semesta sebagai ciptaan Ilahi agar boleh berlanjut sampai nanti.
Nasib pongo pun kurang lebih sama dengan anak cucu dari kita, ruang hidup menjadi prioritas, hutan yang harmoni saling menyapa, saling menyatu menjadi satu.
Asa Pongo tidak lain ialah rimba yang raya, pakan yang melimpah dan jelajah yang luas, aman terkendali. Satu harap, semoga impian akan rimbunnya hutan, belantara yang raya dengan tindakan nyata serta kepedulian kita semua bisa mengobati dan menjadi penawar sakit penyakit yang diderita pongo serta semua napas makhluk selama ini. Mengingat, semua nafas memiliki hak yang sama untuk hidup yang harmoni di rimba yang raya.
(MONGA.ID/Petrus Kanisius)