Banjir dan kita itu yang nyata di pelupuk mata dan ia pun semakin akrab dengan kita saat ini. Mendera dan selalu datang tak ubah seperti jelangkung, datang tak diundang.
Resah kini terjadi di beberapa tempat, lebih khusus di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dari banjir yang terjadi dari hari Minggu kemarin hingga hari ini di beberapa kecamatan cukup menyita perhatian karenamu banjir.
Tak terelak, tersebutlah seperti beberapa kecamatan kini terkena banjir, diantaranya di Simpang Hulu, Jelai Hulu, Tayap, Sandai dan Tumbang Titi, atau mungkin juga terjadi di tempat lainnya.
Sudah semakin akrab
Sudah semakin akrabnya kita dengan banjir hingga kita lupa mengapa banjir kerap datang tiba-tiba mendera kita kapan saja.
Kini dongeng banjir itu ada dan semakin nyata, tak perlu saling menyalahkan. Fakta nyata membukakan mata kepada kita semua. Banjir yang menggenang tentu saja menjadi penghambat, membuat semua kita semakin was-was. Tak nyenyak tidur ketika hujan berhari-hari tak kunjung berhenti.
Tidak bisa disangkal, bila hujan dua hingga tiga hari bersiaplah air banjir segera datang menyerang semua kita kapan saja.
Saat ini kondisi kita diperparah karena di beberapa daerah di kabupaten Ketapang merupakan dataran rendah. Tentu, kondisi ini yang semakin kita hindari dengan akrabnya kita dengan banjir.
Pertanyaan yang mungkin cocok dilontarkan, apa ini karena alam sudah semakin sakit? Atau karena alam sudah semakin tak mampu bersama secara harmoni?
Banjir mendera siapa saja, tanpa pilih kasih. Itu yang sudah nyata terjadi di pelupuk mata. Apakah kini kita sudah semakin berjarak dan tak bersahabat?
Entahlah, yang pasti, dari banjir yang terjadi menanti rasa dan asa agar kita dan alam lingkungan ini boleh bersama-sama menjaga agar boleh kiranya tak saling menyalahkan.
Bila banjir terjadi, tak sedikit yang mencibir bahwa alam tak bersahabat dengan kita? Apakah demikian adanya sesuai fakta?
Apakah kita atau alam yang tersakiti sejak semula?
Alam raya yang diciptakan ini tentunya oleh Sang Pencipta memiliki tujuan mulia bagi kita dan semua makhluk lainnya.
Alam atau lingkungan ini tidak mungkin membinasakan atau merugikan sekelilingnya. Mengingat, alam (lingkungan) justru menjaga dan memilihara serta memberi manfaat.
Akan tetapi, lihatlah, resapan air berupa hutan semakin tercerabut, terkikis menjelang habis. Tangan-tangan serakah pun semakin berlomba menggores luka pada alam ini.
Tangan-tangan penolong kalah telak menolong. Tajuk-tajuk penyangga itu kini menanti arti akan refleksi bersama dengan tindakan nyata agar tak lagi terus terdera akibat ulah kita manusia yang cenderung menuai ingkar janji dari kata harmoni dengan alam ini.
Lihatlah, tengoklah, bila banjir tiba siapa yang menerima dampak nyata? Semua terkena dimana wilayah yang dilanda banjir itu. Semua juga terkena repot, bahkan berdampak korban harta benda.
Masih menyalahkan alam atau justru kasihan kepada alam? Berharap cerita banjir tak sekedar cerita yang seketika lewat belaka. Ada sebab, maka ada akibat. Alam ini perlu dirawat, memang tak mudah mengembalikan alam yang sudah sekian banyak hilang ini.
Satu kata, RAWAT alam ini. Bila kita bisa merawat alam ini, tentu harmoni itu ada dan kita tak dilanda dan didera banjir yang datang tiba-tiba itu.
Bila boleh berharap sembari mengingatkan kepada semua kita, alam ini menjadi payung atau pun rumah bersama di bumi ini.
Akar yang kokoh sebagai penopang, penyerap dan tajuk-tajuk yang menjulang tinggi sebagai peneduh hingga penyejuk jiwa semua makhluk yang bernafas.
Alam (lingkungan) sejatinya telah ditakdirkan sebagai titipan bukan warisan, dengan demikian pula sudah menjadi kewajiban dari generasi ke generasi siapapun itu untuk selalu menjaga dan melestarikan lingkungan sebagai titipan hingga nanti.
Pit-YP
(MONGA.ID)