Napas kehidupan semua makhluk hidup yang masih berkelana dan bernyawa di penghujung tahun, yang tidak lama lagi akan segera berganti tahun. Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga bulan terakhir di penghujung tahun akan segera berganti tahun. Tentu semua berharap di tahun mendatang lebih baik dari hari ini (di penghujung tahun) untuk lebih baik lagi atau berbenah diri.
Semua napas kehidupan semua makhluk hidup memiliki cerita yang berbeda-beda alias tidak sama. Penghujung tahun dari hari-hari yang telah lalu bercerita tentang; tarikan nafas berjuang demi anak hingga cucu, bertahan demi sesuap nasi, tergerus dan tergusur di habitat yang semakin asing di tanah sendiri (manusia, lingkungan dan satwa yang semakin merindu untuk disapa). Ada pula napas yang sekarat bertahan dalam lingkup yang semakin sulit karena pakan dan makan semakin langka (orangutan dan satwa lainnya) semakin terkepung oleh degradasi lingkungan dan keibaan kita kepada lingkungan dan sesama pula.
Napas di penghujung, ibarat menunggu tetapi entah kapan waktu akan tiba kepada Sang Pencipta. Saban waktu terus berlalu dan berganti. Tetapi, kita, sesama dan lingkungan sama-sama berbeda menjalani dan menghadapi cerita-cerita dalam tatanan kehidupan.
Lihatlah lingkungan, hutan, alam ini selalu memberi walau selalu (di/ter)sakiti oleh siapa saja yang merasa menyakiti.
Alam memberi, kita menyakiti. Seperti itu irama nada dan fakta yang tidak kunjung usai hingga menuai cerita pilu ketika alam bicara dalam bahasanya.
Tengoklah tajuk-tajuk yang semakin banyak rebah tak berdaya dibanding berdiri kokoh dan berakar. Ini nyata, tanda-tanda tentang luluh layu seolah tersipu disapu bersama angin, hujan dan badai yang tak mampu dibendung oleh apa-apa lagi. Akar-akar tak kuat lagi berdiri kokoh akibat tercerabut oleh tangan-tangan pongah tak terlihat namun terasa adanya.
Akar rumput semakin sulit untuk tumbuh dan berakar, semak belukar sering menjadi arang dan abu ketika kemarau tiba.
Demikian pula ketika musim penghujan datang, tamu bernama banjir bandang sering menghampiri secara tiba-tiba (tidak mengenal waktu).
Kita terlena? Entahlah, tetapi ketika alam bicara dengan bahasanya seringkali kita menyalahkannya. Alam tak bersahabat, itu kata-kata yang sering terdengar ketika bencana datang. Hutan, alam ini menjadi tertuduh dari sebab akibat.
Satwa, alam, lingkungan dan kita. Bukankah itu satu kesatuan yang tak terpisahkan dan jangan sampai dipisahkan. Itu sejatinya, tetapi faktanya ya, alam sering menangis karena ulah pongah kita ini. Tanpa disadari terkadang alam ini menanti disapa oleh siapa saja.
Tetapi adakah? Acap kali kita acuh tak acuh kepada nasib alam, lingkungan ini. Benarkah terkadang kita pun lupa dengan asa tentang harmoni yang kiranya harus berlanjut.
Apakah kita sudah lupa dengan titah hati nurani untuk selalu bersama akan lingkungan alam yang saling menghargai, memberi, merawat dan menjaga bukan melukai atau menyakiti. Sebagai pengingat, hutan alam ini merupakan titipan untuk anak cucu.
Sengkarut tentang alam ini entah sampai kapan akan berakhirnya bila semua terus begini (tidak harmoni) dan ego diri. Hutan alam ini hanya butuh dijaga, dipelihara dan dirawat oleh siapa pun dari kita semua.
Alam memberi untuk kita, sejatinya kita pun memberi untuk alam. Bisakah kiranya kita bersama-bersama menjaga, memilihara dan saling harmoni dengan cara-cara sederhana yang kita miliki.
Tunas-tunas baru perlu disemai, ditanam agar kiranya tajuk-tajuk yang menjulang tinggi boleh berdiri kokoh kembali dan melindungi kita dari semua yang mendera. Semoga ada secerca harapan agar kita saling harmoni dan tak ego diri pada alam lingkungan dan sesama di tahun-tahun mendatang.
(Pit-YP/MONGA.ID)