Monga.id-Para Rama yang terkasih, saya menulis beberapa catatan yang mungkin dapat para Rama jadikan inspirasi untuk mengajak umat peduli pada peristiwa banjir di Tanjung dan Tumbang Titi.
Pertama, Umat beriman yang terkasih, pada tanggal 30 Agustus 2017 terjadi banjir besar di Sungai Jelai. Beberapa rumah warga hanyut terbawa arus air, beberapa jembatan putus dan desa terisolir. Menurut data dari Posko Paroki Tanjung ada 334 KK yang terdampak dari desa Teluk Runjai, Tanggerang, Perigi, Pasir Mayang, Rangga Intan dan Sidahari. Bantuan sembilan bahan pokok makanan (sembako) pada tanggal 30 Agustus, dikirimkan ke Paroki Tanjung dari umat melalui Paroki Katedral Ketapang.
Kedua, Peristiwa banjir memanggil kita semua sebagai orang beriman untuk berubah. Berubah dari mengambil dari alam menjadi memberi untuk alam. Saatnya kita memberikan hormat pada alam semesta. Kita harus berubah agar makin mencintai bumi rumah kita bersama. Paus Fransiskus menetapkan bahwa tanggal 1 September, sebagai hari doa untuk lingkungan hidup. Paus mengatakan “saat berharga untuk membarui partisipasi pribadi kita dalam panggilan sebagai pemelihara ciptaan”.
Ketiga, Peristiwa banjir dan hari doa untuk lingkungan hidup memanggil kita kepada ‘sebuah pertobatan ekologi’. Artinya buah perjumpaan dengan Yesus Kristus terlihat dalam hubungan dengan dunia di sekitar’. Kalau kita biasa mengambil hasil dari bumi, maka saat ini kita bisa juga memberi pupuk kepada bumi. Kalau kita sering berkata ‘membuang sampah’ maka saatnya bukan membuang sampah tetapi menaruh sampah. Mungkin kita pernah meminum air dari kemasan dan tidak dihabiskan, maka sekarang kita habiskan tanpa setetes pun. Kalau mungkin terbiasa menebang pohon, marilah berubah untuk menanam pohon. Kalau pernan menyerahkan lahan kepada perusahaan marilah kita jaga lahan agar kita menjadi tuan di tanah sendiri. Kita adalah pemelihara ciptaan bukan penjual.
Keempat, Peristiwa banjir mengingatkan sekaligus mengutus kita untuk tetap setia menjadi penolong bagi alam semesta ini. Paus Fransiskus dalam Laudato Si (merupakan ensiklik kedua yang dibuat Paus Fransiskus setelah lumen fidei/Terang Iman) mengatakan bahwa bumi tempat kita berpijak sedang menjerit kesakitan. Selain itu kita juga diutus untuk menolong saudara/i kita yang terpaksa mengungsi karena rumahnya hanyut terbawa banjir. Kita diutus untuk menolong mereka yang kehilangan harapan hidup karena harta benda mereka hilang dibawa banjir. Kita diutus untuk menolong anak-anak yang kehilangan kesempatan belajar lebih baik karena buku-buku mereka rusak terkena banjir.
Kelima, Marilah berdoa untuk bumi: Allah yang mahakuasa, yang hadir dalam seluruh alam raya dan dalam mahkhukMu yang terkecil, Engkau merangkul dengan kelembutanMu semua yang ada. Curahkanlah kekuatan kasihMu atas kami agar dapat melindungi kehidupan dan keindahan. Penuhilah kami dengan kedamaian, agar dapat hidup sebagai saudara dan saudari tanpa membawa kerugian bagi siapa pun.
Ya Allah orang miskin, bangulah kami untuk menolong mereka yang ditinggalkan dan dilupakan di bumi ini, mereka yang amat berharga di mataMu. Sembuhkan hidup kami, agar kami menjadi pelindung dunia dan bukan perampok agar kami menabur keindahan bukan pencemaran atau perusakan. Sentuhlah hati mereka yang hanya mencari keuntungan dengan mengorbankan bumi dan kaum miskin.
Ajarlah kami untuk menemukan nilai segala sesuatu, untuk menatap dengan rasa kagum, untuk mengakui bahwa kami terjalin mendalam dengan segala makhluk dalam perjalanan kami menuju cahayaMu yang tak terbatas. Kami berterima kasih karena Engkau bersama kami setiap hari. Kami mohon sudilah Engkau mendukung kami dalam perjuangan kami untuk keadilan, cinta dan perdamaian. Amin.
Tulisan ini ditulis oleh Mgr. Pius Riana Prapdi, Pr (Uskup Ketapang) untuk menyikapi bencana lingkungan yang berdampak terjadinya banjir di beberapa paroki di wilayah Keuskupan Ketapang.
(Monga/Pit)