Fenomena Banjir Dulu dan Sekarang

3049
Rumah warga di Desa Setipayan, Kecamatan Jelai Hulu yang Terendam banjir. Foto dok : IST/Bonifasius Rionaldo

MONGA.ID-KETAPANG, Banjir dulu dan sekarang. Dulu banjir, sekarang juga banjir (sama-sama banjir). “Dulu air banjir masih bisa tertahan, sekarang air banjir tidak ada yang menahan”. Tertahan karena hutan masih bisa berdiri kokoh. Sedangkan saat ini air banjir tidak ada yang menahan karena hutan tak banyak lagi berdiri kokoh akibat banyak sebab.

Hujan tak berhenti mengguyur selama 2 hari, dari 10-12 Juli 2020 kemarin, berimbas pada terjadinya banjir di beberapa wilayah di Kecamatan Jelai Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat.

Terjadinya banjir sedikit banyak berdampak kepada sendi kehidupan (aktivitas) sehari-hari masyarakat. Masyarakat mau tidak mau akrab dengan banjir.

Rumah warga yang terendam banjir di Desa Riam Kota, Kecamatan Jelai Hulu. Foto dok : Bonifasius Rinaldo

Seperti penuturan Natalis, selaku Sekdes Desa Penyarang saat dihubungi melalui pesan WA, mengatakan; “Banjir terjadi di beberapa desa seperti di Desa yang terendam banjir di Kecamatan Jelai Hulu, seperti di Desa Kesuma Jaya, Desa Riam Danau Kanan, Desa Pasir Mayang, Desa Perigi, Desa Tebing Berseri, Desa Periangan, Desa Penyarang, Desa Asam Jelai dan Desa Biku Sarana”.

Akibat cuaca ekstrem sesuai pantauan BMKG dari tanggal 8 sampai 13 juli. Di tambah lagi akibat banyaknya alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit di wilayah hulu, kata Natalis.

Lebih lanjut kata Natalis, “Dampak utama dari terjadinya banjir membuat warga harus mengungsi, tapi kesulitan alat transportasi hanya sebatas rakit, jadi kesulitan untuk evakuasi, sedangkan bantuan dari pemerintah berupa sembako itu pun sampai saat ini belum ada sampai karena keterbatasan akses. Fasilitas seperti perahu sangat mereka perlukan saat ini. Untuk fasilitas umum pun terganggu akibat tergenang banjir ataupun rusak akibat banjir”. Dari  informasi Natalis ini, bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat setempat.

Jembatan Gantung di Riam Kota yang menghubungkan akses ke desa-desa seperti ke Desa Setpayan, Desa Kusik Batu Lapu, Desa Tebing Berseri dan Desa Kusik Bulin, Terendam oleh Banjir. Foto: IST/Bonifasius Rinaldo

Jembatan Gantung di Riam Kota yang menghubungkan akses ke desa-desa seperti ke Desa Setpayan, Desa Kusik Batu Lapu, Desa Tebing Berseri dan Desa Kusik Bulin, Terendam oleh Banjir. Foto: IST/Bonifasius Rinaldo

Belum lagi perubahan tanah di perumahan masyarakat yang tinggal di sekitar aliran sungai, menyebabkan rumah miring dan turn. Penurunan tanah, tanah pondasi rumah warga menjadi lembut menyebabkan pondasi  tanah menjadi miring, katanya lagi.

Desi Kurniawati, Koordinator Program Perlindungan Satwa (PPS-Hukum) Yayasan Palung, mengatakan terkait terjadinya banjir, menurutnya, “Banjir yang terjadi di beberapa wilayah Jelai Hulu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena diperparah oleh adanya perubahan bentang alam (luasan tutupan hutan yang semakin banyak berkurang). Faktor lainnya karena perubahan iklim (cuaca yang semakin tidak menentu/ anomali cuaca)”.

Desi sapaan akrabnya lebih lanjut mengatakan, “banjir dulu dan sekarang”, dulu banjir juga sering terjadi di lingkungan masyarakat kita, tetapi dampaknya tidak separah seperti sekarang ini. Pada Dasarnya kata Desi, Kalimantan sejatinya sudah sangat akrab dengan banjir, tetapi dulu itu sebenarnya air pasang karena biasanya hanya beberapa jam sudah surut. Desi mencontohkan pada masyarakat kita terdahulu (jaman dulu) di kampung lebih arif dan bijaksana dengan alam sekitar kita (lebih memuliakan alam/peduli dengan alam). Bahkan orang tua (masyarakat) kita dulu kata Desi, sudah tahu cara memitigasi (langkah-langkah mengurangi resiko dengan melakukan pencegahan) dengan cara seperti membangun rumah harus tinggi (rumah panggung) di dataran yang tinggi pula. Sedangkan sekarang sangat berbeda, kebanyakan orang membangun rumah sesuai keinginan saja yang tidak terlalu banyak memikirkan mitigasi banjir. Hal lainnya lagi yang memperparah adalah terkait Andal (analisis dampak lingkungan) yang terkadang hanya copas (copy paste / salin tempel), KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Srategis) tidak dijalankan dengan benar, atau pun perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di sekitar lokasi banjir tidak menjalankan prinsip-prinsip sawit berkelanjutan.

Selanjutnya juga Desi menegaskan, “Dulu hujan lebat sekalipun bisa sangat cepat diserap (tertahan) oleh akar-akar pohon. Sedangkan sekarang air hujan turun sudah tidak banyak yang tertahan karena tidak ada banyak pohon di hutan yang menahan. Kalau dulu, ketika banjir terjadi, air sungai masih bisa dikonsumsi, sekarang air sungai sudah mengandung racun bekas dari pupuk dan sebagainya”.

Sesuatu yang pasti dan yang selalu terjadi, penerima dampak adalah masyarakat kecil di wilayah sangat rentan terjadinya banjir.

Saat ini kita semua, pemerintah, pihak swasta dan masyarakat saatnya untuk kembali memuliakan alam dengan sisa-sisa kebijaksanaan yang kita miliki, dengan demikian tidak ada lagi bencana yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.

(MONGA.ID/Petrus Kanisius)

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini