Ini Cara Mengukur Suhu Tubuh Orangutan Tanpa Harus Bersentuhan Langsung

1348
Codet si orangutan di Gunung Palung. Foto dok: Photo Istimewa/ Tim Laman/YP/GPOCP

“Penyakit memainkan peran penting dalam demografi kera besar dan memantau kesehatannya adalah bagian vital dalam mengkonservasikan spesies yang hampir punah ini”, (Leendertz et all.,2006; lonsdorf et al., 2006)

Sangat penting kiranya memantau kesehatan orangutan untuk membantu mereka agar tetap ada selain juga untuk antisipasi dalam proses penyembuhan dan menemukan penyakit serta obat-obatan baru pada perlindungan orangutan. Orangutan sebagai salah satu mamalia serta primata yang memiliki kelebihan karena mampu menghasilkan sumber panas sendiri dalam tubuhnya dan menyesuaikan suhu tubuhnya terhadap lingkungan sekitar serta menjaga suhu tubuhnya secara konstan agar tetap hangat dalam kondisi apapun (Homeothermic).

Nah, dalam hal ini bisa ditarik kesimpulan secara ilmiah bahwa panas tubuh memiliki peranan penting sebagai indikator kesehatan pada tubuh orangutan.

Orangutan di alam liar sebagai hewan kanopi atau arboreal adalah individu yang cukup sulit untuk dimonitor kesehatannya, berbagai kendala dalam usaha memantau kesehatan orangutan yang salah satunya adalah kebiasaan hidup mereka yang sebagian besar dihabiskan di atas pohon. Pertanyaannya adalah bagaimanakah memantau kesehatan orangutan tanpa bersentuhan langsung dengan mereka?.

Siv Aina Jensen dan kawan-kawan melakukan penelitian tentang memantau kesehatan Simpanse (Pan troglodytes verus) di afrika, tepatnya di negara Pantai Gading (Coˆ te d’Ivoire) dengan metode mengukur sampel feses sebagai proksi suhu tubuh simpanse pada tahun 2009, dan penelitian ini membuahkan hasil yang cukup memuaskan dengan estimasi rata-rata suhu tubuh 37,2 C. Dan tentunya metode ini sudah digunakan sebelumnya dengan subjek manusia.

Simpanse. Foto dok : Pixabay

Pada bulan Mei dua tahun lalu, metode ini sudah mulai diterapkan pada penelitian Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) liar oleh Gunung Palung Orangutan Proggrame (GPOP) di Stasiun Riset Cabang Panti, Taman Nasional Gunung Palung, KKU, Kalimantan Barat.

Dengan mereplikasi metode pengukuran suhu feses sebagai proksi estimasi suhu tubuh ini yang awalnya diterapkan pada Simpanse yang cenderung hidup di daratan (teresterial), sedangkan orangutan yang hidup di atas kanopi pohon membuat kami memodifikasi beberapa tahapan teknis metode ini sehingga dapat di sesuaikan pada gaya hidup orangutan dan pada saat itu metode ini masih dalam tahap uji coba kelayakan.

Kami juga menggunakan metode pengukuran suhu feses orangutan rehabilitasi di Yayasan International Animal Rescue, Ketapang-Kalimantan Barat pada tahun 2018 dengan tujuan membandingkan subuh tubuh antara orangutan yang tinggal di pusat rehabilitasi dan oranguran di alam liar dan melihat seberapa efisien penerapan metode penelitian ini, dan hasil nya cukup menarik. Dengan mengambil 30 sampel feses di pusat rehabilitasi dan 224 feses di alam liar, berakhir dengan hasil dan kesimpulan bahwa suhu tubuh orangutan di pusat rehabilitasi lebih tinggi ketimbang saudaranya yang berada di alam liar.

Orangutan sistem metabolisme tubuh yang sangat rendah dengan tujuan beradaptasi bertahan hidup ketika ketersediaan pakan menurun”, (Pontzer et al,2010).

Hal ini dikarenakan orangutan harus beradaptasi untuk bertahan hidup ketika sumber pakan mengurang di habitatnya, jadi kesimpulannya adalah suhu tubuh yang rendah mencerminkan sistem metabolisme tubuhnya yang rendah pula dengan tujuan mengurangi pemakaian energi yang dibutuhkan sehingga orangutan masih bisa bertahan hidup ketika sumber makanannya tidak mencukupi.

Muhammad Syainullah ketika melakukan aktivitas penelitian di Stasiun Riset Cabang Panti, TANAGUPA. Foto dok : YP/GPOCP

Dengan adanya penelitian ini kami berharap untuk lebih memahami pola perilaku orangutan untuk mengantisipasi ancaman-ancaman yang menunggu mereka dikemudian hari, dan juga kami berharap dengan ditemukannya hasil penelitian tentang orangutan akan menghasilkan pertanyaan-pertanyaan lainnya sehingga berujung penelitian baru lainnya pula.

“Aku tak bisa menjaga semua aspek kehidupan di bumi ini agar tetap baik seperti sedia kala, mungkin dengan melakukan hal-hal kecil pada poros tanggung jawabku terhadap konservasi dan alam ini akan menghasilkan hal-hal baik di sekelilingku pula, dan itulah pertanggung jawabanku terhadap alam”, Muhammad Syainullah.

Muhammad Syainullah- Yayasan Palung/GPOCP

TINGGALKAN KOMENTAR

Masukkan komentar anda
Masukkan nama anda di sini